Kelembagaan Adat Desa Di Tana Toraja

KELEMBAGAAN MASYARAKAT ADAT DESA
DI TANA TORAJA – SULAWESI SELATAN
Oleh : Den Upa Rombelayuk

Pendahuluan

Kedaulatan komunitas masyarakat asli yang tersebar di seluruh Nusantara sudah ada sejak ribuan tahun bahkan kalau boleh dikatakan sejak manusia mendiami bumi persada ini. Kehadiran manusia dalam bentuk komunitas telah ada, serta melangsungkan aktivitas-aktivitas sosial kemasyarakatan di seluruh Nusantara dari waktu ke waktu atau generasi ke generasi. Melalui proses jangka waktu yang sangat panjang terjadi interaksi sosial antar anggota komunitas serta interaksi dengan lingkungan fisiknya secara runtut dan melembaga sedemikian rupa, sehingga terbangun suatu satuan kemasyarakatan yang mandiri yang mempunyai sistem nilai tersendiri dengan perangkat hukumnya yang dibangun oleh komunitas itu sendiri. Komunitas tersebut mandiri dan berdaulat dalam arti kemampuan keberadaan komunitas melalui proses sosialisasi nilai dan tradisi yang dilakukan dari generasi ke generasi.

II. Kelembagaan Adat

Proses perkembangan serta pola interaksi sosial baik antar anggota komunitas maupun antar komunitas dapat mengancam kemandirian atau eksistensi kedaulatan komunitas itu sendiri. Reaktualita dalam menghadapi situasi perubahan dibutuhkan suatu pengorganisasian agar fungsi-fungsi politik, ekonomi dan hukum dapat berjalan sebagai pilar kemandirian atau kedaulatan. Fungsi-fungsi tersebut perlu diemban dan dikawal oleh satu organisasi yang dibangun dan disepakati oleh masyarakat melalui kontak sosial atau kesepakatan melalui musyawarah yang awalnya merupakan embrio dari kelembagaan adat dalam komunitas atau yang lazim di sebut Masyarakat Adat.

Keberadaan lembaga adat dalam Komunitas harus diakui dan diterima oleh seluruh anggota komunitas yang memungkinkan adat-istiadat serta tradisi semakin mapan serta tumbuh berkembang secara dinamis dalam menghadapi perubahan dari waktu ke waktu. Silsilah tersebut diakui dengan sejarah dan peristiwa dari waktu ke waktu khususnya Tongkonan yang berfungsi sampai kepada masa kini.

Identifikasi melalui silsilah serta sejarah perkembangan tiap lembaga adat atau komunitas dalam mempertahankan eksistensinya dapat ditelusuri sehingga merupakan kebanggaan setiap insan Toraja. Bermacam-macam sejarah dengan versi masing-masing baik dalam dongeng rakyat, atau sajak yang diucapkan dalam bahasa tinggi (Kada Tomina) dapat dibuktikan keberadaannya sampai sekarang dalam bentuk budaya adat-istiadat dan upacara-upacara adat. Penamaan Komunitas dengan Tongkonan atau Lembaga adat selamanya dikaitkan dengan nama lokasi atau tanah tempat bermukim.

III. Basse Atau Kontrak Sosial
Bangunan yang dibuat oleh masyarakat sebagai upaya pemberdayaan komunitas dalam mempertahankan kedaulatannya yang lazim disebut Lembaga Adat. Lembaga tersebut sebagai wadah musyawarah untuk membuat aturan-aturan adat yang dipimpin oleh seorang Pemangku Adat. Oleh karena pada asasnya jiwa demokrasi dalam pengambilan keputusan dalam masyarakat adat diwujudkan dalam bentuk musyawarah yang demokratis (Tudang Sipulung Bugis, Kombongan Toraja).

Pada prinsipnya di setiap komunitas asli atau masyarakat adat bangunan kelembagaan dengan perangkatnya diangkat dan disetujui oleh masyarakat melalui suatu perjanjian untuk menjamin kedemokrasiaan dan kepentingan umum yang diwujudkan melalui suatu upacara yang bermakna sebagai sumpah/kontrak sosial (Basse). Umumnya dalam komunitas tersebut setiap kesepakatan harus diresmikan atau dilegitimasi melalui upacara adat yang maknanya sebagai kontraksosial yang mengikat dengan sanksi sehingga oleh masyarakat Sulawesi Selatan khususnya Toraja disebut sebagai Basse.

Adanya Pemangku Adat dengan konsekuensi terciptanya birokrasi dalam komunitas dapat merupakan ancaman terhadap nilai demokrasi komunitas terutama dalam pengambilan keputusan. Sepanjang pengetahuan kami awal bangunan atau pembentukan dalam perjalanan antar waktu terjadi pergeseran nilai yang menyebabkan kepemimpinan dipertahankan dalam komunitas melalui memfungsikan atau melembagakan musyawarah disepakati. Melembagakan musyawarah dan Basse dalam masyarakat atau komunitas merupakan pilar demokrasi yang sekaligus mengawal keberlangsungan hidup komunitas itu sendiri dalam mengadapi berbagai macam perubahan atau ancaman.

IV. Aspek Kesejarahan
Tondok lepongan bulan tana matari allo artinya Negeri sebulat bulan purnama, tanah yang bersinar bagaikan matahari yang terletak dipegunungan bagian tengah Sulawesi didiami oleh berbagai komunitas yang berasal dari satu usul keturunan. Salah satu suku tersebut adalah Toraja.

Toraja sebagai studi kasus karena merupakan salah satu suku tertua dan mempunyai sejarah yang dapat diindentifikasi mulai dari awal sampai sekarang. Sejarah adalah suatu cerita dari realitas masa lampau atau dengan kata lain sebagai upaya menyusun gambar tentang kejadian masa lalu yang punya kaitan sampai kini. Bukti yang dapat ditelusuri adalah bahwa setiap orang Toraja dapat menyelusuri silsilahnya dari 19 generasi bahkan ada yang dapat menelusuri mulai dari Banua Puan atau dari Puang Tamboro Langi.

Silsilah tersebut diikuti dengan sejarah dan peristiwa dari waktu ke waktu khususnya Tongkonan yang berfungsi sampai kepada masa kini.

Indentifikasi melalui silsilah serta sejarah perkembangan tiap lembaga adat atau komunitas dalam mempertahankan eksistensinya dapat ditelusuri sehingga merupakan kebanggaan setiap insan Toraja. Bermacam-macam sejarah dengan versi masing-masing baik dalam dongen rakyat, atau sajak yang diucapkan dalam bahasa tinggi (kada Tominaa) dapat dibuktikan keberadaannya sampai sekarang dalam bentuk budaya adat-istiadat dan upacara adat. Sebagai suku menetap, maka sejarah suku asli khususnya Toraja mempunyai kaitan dengan ekosistem alamnya yang menghasilkan budaya serta mempengaruhi aturan-aturan adat. Penamaan komunitas dengan Tongkonan atau lembaga adat selamanya dikaitkan dengan nama lokasi atau tana tempat bermukim.

V. Legenda To Lembang
Sebagai suku yang tertua nenek moyang suku-suku di Sulawesi bagian Selatan dan Tengah dapat dimulai dari sebuah Legenda To Lembang artinya orang perahu. Ribuan tahun yang lalu datanglah sekelompok manusia dalam beberapa perahu dan mendarat di sebuah pantai bernama Bungin sekarang di daerah Kab. Pinrang. Setelah mendarat mereka berupaya mencari tempat ketinggian dan akhirnya sampai ke suatu tempat bernama Rura di kaki Gunung Bamba Puang sekarang termasuk Kec. Alla Kab. Enrekang.

Di tempat tersebut mereka membangun permukiman namun polanya mengikuti bentuk dan struktur yang diwarisi semasih berada di atas perahu. Sehingga terbentuk komunitas-komunitas yang warganya berdasarkan para penghuni di masing-masing perahu. Inilah komunitas pertama yang dinamakan To Lembang (orang perahu). Pembagian kerja serta tanggung jawab diatur mengikuti semasih mereka berada berada di perahu seperti To Bendan Paloloan (Jurangan), To Massuka (Juru Masak), Bunga Lalan (Juru Batu) dan Takinan Labo (Pasukan). Oleh karena itu bentuk rumah Toraja menyerupai perahu dan selamanya menghadap dari selatan ke utara.

1. Visi To Lembang dan Aluksanda Pitunna

Ada 2 (dua) prinsip dasar yang mengatur tata kehidupan To Lembang yaitu :

Hubungan antar manusia yang dinamakan Penggarontosan

Hubungan manusia dengan sumberdaya alam yaitu Aluk Sanda Pitunna atau Tallu Lolona.

a. Visi Hubungan Penggarontosan yaitu :

Misa ada dipotuo pantan kada dipomate (bersatu kita teguh bercerai kita mati)

Sipakaele, disirapai (saling menghargai dan musyawarah)

Hidup bagaikan ikan masapi (hidup bersama bagaikan ikan dan air yang saling membutuhkan).

b. Visi Tallu Lolona Aluksanda

Konon To Lembang dari daerah asalnya dibekali aturan yang dinamakan Aluksanda Pitunna, aturan yang mengatur hubungan manusia dengan sumberdaya alamnya serta manusia dengan dalam komunitas (Sang Lembang). Filosofi Aluk Sanda Pitunna adalah “Tallu Lolona,” artinya bahwa di atas bumi persada terdapat 3 (tiga) unsur kehidupan yang tumbuh dan berkembang biak, saling hidup-menghidupi yaitu :

Lolo Tau (manusia)

Lolo Patuoan (hewan) dan;

Lolo Tananan (tumbuhan)

Ketiga unsur ini saling berkaitan yang diatur melalui Aluk Sanda Pitunna.

VI. Penyebaran Komunitas To Lembang Ke Seluruh Sulawesi
Maka tersebutlah kisah bahwa pada suatu ketika ada Pemangku Adat bernama Londong di Rura (Ayam jantan dari Rura) yang berusaha dengan berbagai macam siasat untuk mempersatukan dan menguasai komunitas yang ada. Dengan berbagai macam akal dan cara, maka diselenggarakan Upacara Adat besar yang dinamakan MA’BUA. Sebenarnya menurut aturan adat upacara tersebut dilakukan melalui keputusan musyawarah dengan upacara memotong babi. Namun upacara Mabua tersebut tidak melalui musyawarah atau Kombongan atau tujuannya untuk meligitimasi kekuasaannya, maka Tuhan menjatuhkan laknat dan kutukan sehingga tempat upacara terbakar dan menjadi danau yang dapat disaksikan sekarang antara perjalanan dari Toraja ke Makassar (KM 75).

Maka bercerai-berailah komunitas tersebut ada yang ke selatan dan ke arah utara. Kelompok yang menuju ke utara sampai di sebuah tempat di kaki Gunung Kandora yang dinamakan Tondok Puan.

Mereka membentuk komunitas baru dengan aturan-aturan yang sesuai dengan kondisi fisik di lokasi permukiman baru serta pola hubungan sosial pasca Londong di Rura. Didirikan rumah adat tempat pertemuan yang dinamakan Tongkonan artinya Balai Musyawarah. Tongkonan tersebut diberi nama Banua Puan artinya Rumah yang berdiri tempat yang bernama Puan. Tongkonan tersebut merupakan Tongkonan pertama di Toraja dan komunitas pertama yang terbentuk bernama To Tangdilino artinya pemilik bumi yang diambil dari nama Pemangku Adat pertama (Pimpinan Komunitas To Lembang). Lembang tersebut membuat struktur dan aturan-aturan yang disepakati bersama melalui Kombongan yang diselenggarakan di Rumah Tongkonan. Kombongan inilah yang merupakan Lembaga pengambil keputusan tertinggi. Kewenangan Kombongan diberi arti dengan ungkapan Untesse Batu Laulung (kombongan dapat memecahkan batu pualam).

Komunitas To Banua Puan yang dinamakan Lembang dengan struktur kelembagaan adatnya merupakan embrio kelembagaan dan Lembang yang pertama di Toraja dan tempatnya dapat kita buktikan di kaki Gunung Kandora Desa Tengan Kec. Mengkendek. Dari Tongkonan tersebut menyebarlah ke seluruh Tana Toraja serta membawa adat dan budaya serta pola To Banua Puan di setiap tempat senantiasa terbentuk komunitas dengan basis Tongkonan di atas wilayah tertentu. Jadi dapat dilihat bahwa penamaan Lembang dengan Lembaga Tongkonannya senantiasa dikaitkan dengan sumberdaya alamnya khususnya tanah sangat mempengaruhi pola pergaulan dan aktivitas sosial dalam Komunitas Lembang.

II. Aluksanda Saratu
Masa To Manurun atau orang yang diturunkan dari kayangan. Setelah berlangsung beberapa generasi dimana manusia mulai berkembang dengan diiringi oleh terbentuknya Lembang baru. Hal ini mulai menimbulkan persaingan dan pertikaian antar kelompok. Karena Aluk Sanda Pitunna hanya mengatur intern kelompok, maka tidak dapat lagi mengatur hubungan antar Lembang. Maka oleh dewa diturunkanlah Aluk Sanda Saratu aturan serba seratus yang mengatur hubungan antar komunitas atau antar lembang. Prinsip dasar adalah persatuan dan kesatuan dengan motto “Misa Kada Dipotuo Pantan Kada Dipomate.” Strategi sebagai pintu masuk adalah dengan pengembangan sejarah dan ikatan silsilah kekeluargaan antar Tongkonan yang menggambarkan kesatuan asal keturunan dan persamaan nasib. Seluruh wilayah permukiman To Lembang dikoordinir dalam satu kesatuan yang dinamakan Tondok Lepongan Bulan Tana Matari Allo. Dibentuk Forum Koordinasi yang mengatur tata hubungan antar lembang dan penyelesaian sengketa antar Lembang yang dinamakan Kombongan Kalua Sang Lepongan Bulan.

Aturan tersebut tidak dapat berjalan karena tidak ada yang menjalankan atau tidak ada satupun dari Lembang yang ada dan mampu mengkoordinir. Oleh karena itu diturunkanlah dari langit Puang Tamborolangi dan mendarat di Puncak Gunung Kandora sebagai pelaksana aturan Sanda Saratu. Puang Tamboro Langi inilah yang merupakan nenek moyang raja-raja di Sulawesi khususnya di Selatan, Tengah dan Tenggara.

Apabila dikaji secara mendalam maka makna dari cerita tersebut adalah “bahwa eksistensi raja atau pemimpin di Toraja diturunkan dari khayangan untuk melaksanakan peraturan demi kepentingan masyarakat,” jadi peraturan Sanda Saratu bukan untuk kepentingan raja tetapi untuk kepentingan rakyat dan bila tidak dapat mengemban tugas, maka raja diturunkan oleh dewa melalui Kombongan Kalua. Kombongan Kalua sebagai alat dari Dewa berarti suara rakyat peserta kombongan diindentikkan dengan suara Dewa atau dengan kata lain adalah dewa dan keputusan Kombongan Titah Dewa.

Upaya dan proses perkembangan tersebut di atas dimana komunitas dengan kelembagaan adatnya yang terbangun dari dan oleh mereka sendiri melalui musyawarah menciptakan suatu organisasi yang dinamis, mapan dan dapat menghadapi perubahan-perubahan.

Berasal dari sejarah asal-usul dan tradisi setempat dimana proses waktu serta dinamika pola interaksi sosial antar anggota komunitas serta dengan alam lingkungannya menghasilkan berbagai keragaman komunitas. Keragaman budaya, sistem pemerintahan, sistem hukum serta kearifan tradisional sangat dipengaruhi oleh hal-hal tersebut di atas. Dapat dipahami bila sebelum Pemerintahan Kolonial didapati berbagai ragam komunitas-komunitas yang berdaulat. Keragaman dalam tradisi, sejarah, adat-istiadat sistem pemerintahan merupakan kekayaan budaya bangsa yang diakui melalui semboyan “Bhinneka Tunggal Ika.” Di Toraja Komunitas Lembang diikat melalui semboyan “Misa Kada Dipotuo Pantan Kada di Pomate Lan Lilina Lepongan Bulan Tana Matari Allo.”

VIII. Keterancaman Nilai Demokrasi dengan Kedatangan Tomanurun

Disisi lain keturunan Puang Tambora Langi sebagai pelaksana Aluk Sanda dalam perkembangannya memposisikan dirinya menjadi supra struktur di atas komunitas yang merupakan cikal bakal terbentuknya strata sosial, feodalisme atau pemerintahan kerajaan. Harapan semula untuk menjadi juru damai antar komunitas dalam perjalanan sejarahnya terpaksa mencari basis kekuasaan yaitu terbentuknya lembaga supra di atas komunitas yang dibeberapa tempat dilegitimasi melalui Kombongan Kalua antar Komunitas antara lain Sanggala yang digelar Limbu Apana dan To Sereala Penanianna (gabungan empat Komunitas adat besar yang terdiri dari 12 komunitas basis). Penguatan kelembagaan adat dan dapat dilihat di Sanggala dengan terbentuknya Kelembagaan Kombongan Kalua To Maduang Salu (rakyat banyak) yang mengontrol kelembagaan Supra Komunitas.

Oleh karena hasil Kombongan Kalua, maka nilai dan struktur kelembagaan tersebut bertahan terus dan dihormati oleh masyarakat sampai dikeluarkannya UU/5/79. Sanggala dijadikan kecamatan dan lembaga adat dibuat tidak berfungsi dan tidak berdaya.

IX. Struktur Kelembagaan
Komunitas atau Lembang merupakan sebuah wilayah Masyarakat Hukum Adat yang mempunyai struktur dan perangkat lembaga adat yang dinamakan Tongkonan dan dipimpin oleh Pemangku Adat atau To Parenge.

Sejak dari To Puan dalam perkembangannya sekarang ini ada beberapa aspek yang sangat mendasar serta melembaga dalam pergaulan sosial suku Toraja, yakni :

Hidup berkelompok dalam suatu komunitas yang dinamakan Lembang

Ada pemimpin atau yang dituakan dan;

Nilai demokrasi melalui Kombongan merupakan kekuasaan yang tertinggi (untesse batu mapipang).

Di Tana Toraja terdapat 32 Masyarakat Adat yang mandiri dan mempunyai aturan masing-masing yang berbeda. Namun tetap terikat dalam Sang Torayaan yang digelar To Sanglepongan Bulan Tana Matari Allo (bundar bagaikan bulab purnama bersinar bagaikan matahari pagi). Diikat oleh nilai yang diwarisi dan leluhur yang sama.

Kasus Naggala Sebagai Kajian
Salah satu contoh Masyarakat Adat Nanggala atau Lembang Nanggala yang digelar To Annan Karopina Na Lili Misa Babana artinya kesatuan enam wilayah yang diikat melalui satu pintu.

Sebelum pemerintahan Belanda, Nanggala merupakan satu Komunitas yang berdaulat dengan sumber daya alamnya dalam bentuk Hutan seluas ± 20.000 Ha dan persawahan seluas ± 900 Ha. Tahun 1908 Lembang Nanggala diresmikan menjadi Distrik Nanggala yang dipimpin oleh seorang Kepala Distrik yang digelar Parenge.

Seluruh sistem dan struktur pemerintahan adat diakomodasikan dalam sistem pemerintahan Kolonial. Penyesuaian tersebut dapat dilihat pada Karopi dijadikan Kampung yang dipimpin oleh seorang yang semula To Parenge kemudian dijadikan Kepala Kampung Lembaga Peradilan Adat dan Kombongan tetap difungsikan.

Tahun 1967 distrik diubah menjadi Desa Gaya Baru namun struktur dan kelembagaan adat tetap dipertahankan. Dengan UU/5/1979 dibentuk desa dan seluruh sistem dan kelembagaan adat dihapuskan menjadi LKMD dan LMD. Kombongan Kalua diubah menjadi Musyawarah Desa sedangkan Kombongan pada tingkat Karopi ditiadakan. Nilai demokrasi Kombongan tergeser dengan demokrasi terpimpin dan dijadikan alat oleh golongan tertentu. UU/22/2001 dengan keluarnya Perda No.II tentang Desa, maka Lembang dibentuk kembali dengan sistem Pra UU/5/2000. Untuk lebih mendalami tentang obyek studi kasus tersebut, maka kami paparkan Sistem Pemerintahan Adat atau Lembang, Struktur kelembagaan yang ada sebelum UU/5/1979.

Wilayah terdiri dari 6 (enam) Koropi dengan enam Lembagaan Adat yaitu Tongkonan dengan pemangku Adat dinamakan To Parenge. Keenam Karopi tersebut adalah :

Karopi Kawasik dengan Tongkonan Langkanae dipimpin oleh To Parenge Kawasik.

Karopi Rante dengan Tongkonan Tondok Puang di pimpin oleh To Parenge Rante.

Karopi Basokan dengan Tongkonan Belolangi di pimpin oleh To Parenge Basokan

Karopi Nanna dengan Tongkonan Buntu dipimpin oleh To Parenge Nanna

Karopi Alo dengan Tongkonan Dalonga dipimpin To Parenge Alo dan;

Karopi Barana dengan Tongkonan Sendana dipimpin oleh To Parenge Barana.

Keenam To Parenge tersebut di atas dinamakan Parenge Petulak (penopang atau pilar).

Struktur Kelembagaan

Tongkonan tertinggi yang merupakan dwitunggal yaitu Lumika dan Pao dengan Pemangku Adat To Dua (dwi tunggal). Kekuasaan meliputi Sang Nanggalaan Na Lili Misa Banana. Tongkona Petulak (penopang) terdapat enam masing-masing di Karopi yang dipimpin oelh To Parenge sebagaimana tersebut di atas.

Disamping itu terdapat Tongkonan yang fungsional yaitu ;

To Sikuku pengelolaan sumber daya alam termasuk hutan

Ne Bala Tua keagamaan dan melaksanakan upacara apabila terjadi pelanggaran adat.

To Bamba Bunga lalan yang menentukan waktu turun sawah dengan ilmu perbintangan.

Posisi To Dua
Penguasa seluruh Nanggala Tongkonan Layuk (Tongkonan tertinggi)

Mengatur serta mengayomi aturan adat yang disepakati oleh Kombongan

Menyelesaikan peselisihan antar To Parenge Petulak (Karopi)

Hubungan dengan Madat tetangga atau pemerintahan formal

Memimpin Kombongan Kalua seluruh Nanggala yang menyangkut evaluasi kembali aturan yang ada, mencabut, mengubah atau membuat peraturan adat yang baru.

Bertanggung jawab apabila ada pelaksanaan aturan adat yang tidak sesuai dengan hasil musyawarah.

Memimpin sidang adat pendamai atas kasus yang tidak diselesaikan pada tingkat Karopi.

Menjadi pautan.

To Parenge Karopi
Mengatur serta mengayomi aturan adat atau kesepakatan hasil Kombongan dalam lingkup Karopi masing-masing.

Menyelesaikan perselisihan antar anggota masyarakat dalam lingkup Karopi masing-masing

Memimpin dan mengatur serta bertanggung jawab atas pelaksanaan upacara adat dalam Karopi masing-masing

Memimpin pelaksanaan kerja gotong-royong (siarak) dalam penanggulangan bencana, pembuatan pondok upacara dan gotong-royong lainnya.

Menjadi pengayom masyarakat (untarek lindopio)

Mekanisme Pengangkatan To Parenge

Diseleksi oleh warga berdasarkan garis keturunan dan pengabdian serta penguasaan adat istiadat. Diajukan dalam Kombongan Karopi yang harus dihadiri oleh masyarakat. baru dapat diresmikan.
Hubungan Lembaga Tongkonan Parenge dengan Masyarakat
Apabila terjadi perselisihan antar warga dalam Karopi, maka Tongkonan dan To Parenge wajib dan bertanggung jawab untuk menyelesaikannya melalui sidang adat pendamai yang diselenggarakan di Tongkonan.

Upacara adat yang dilakukan oleh anggota masyarakat dalam wilayah Karopi yang bertanggung jawab atas pelaksanaannya adalah Toparenge sedangkan yang punya upacara hanya menyediakan bahan pengerahan tenaga dan pengaturannya dan pelaksanaannya mennjadi tanggungjawab To Parenge bersama Pemangku Adat lainnya. Andaikata ada sesuatu yang tidak beres, maka bukan yang punya upacara yang bertanggung jawab tetapi To Parenge.

Penyelesaian pelanggaran adat yang merugikan masyarakat melalui adat pendamai.

Mengatur dan menyelesaikan pembagian warisan anggota masyarakat apalagi yang menyangkut tanah (lihat lampiran).

X. Kombongan sebagai Pilar Demokrasi dalam Lembang

Kombongan sebagai pilar demokrasi dan sebagai wadah yang mengawal dinamika adat sesuai perubahan kebutuhan masyarakatnya. Sejak To Banua Puan, maka salah satu ciri yang mendasar dalam komunitas adalah musyawarah yang dinamakan Kombongan.

Pada saat ini Kombongan tersebut sudah melembaga dari generasi ke generasi. Semboyan Kombongan yaitu “Untesse batu mapipang” artinya dapat memecahkan batu cadas yang mempunyai makna bahwa apapun dan bagaimanapun asal disetujui melalui Kombongan dapat merubah, menghapus atau membuat aturan adat yang baru. Hasil Kombongan setelah disahkan merupakan adat.

Prinsip tersebut sudah membudaya disetiap insan Toraja sehingga dimanapun mereka berada di seluruh Nusantara hidup berkelompok dan bermusyawarah tetap dipertahankan. Motto, “Kada Rapa dan Kada Situru” (kesepakatan dan persetujuan) yaitu :

Kombongan Kalua Sang Lepongan Bulan

Kombongan Kalua meliputi seluruh Lembang

Kombongan Karopi dalam tiap Karopi

Kombongan Saroan dalam kelompok basis di bawah Karopi

Kombongan kalua sang lepongan bulan (Musyawarah Agung), kombongan seluruh Tana Toraja yang merumuskan dan memusyawarahkan aturan-aturan yang menyangkut antar Lembang. Kombongan tersebut sesuai tingkatan dan urgensinya dapat dihadiri oleh seluruh masyarakat Toraja di Tana Toraja atau di luar Tana Toraja. Oleh karena pertimbangan efesiensi, maka kombongan tersebut dihadiri oleh wakil atau utusan dari masing-masing kelompok jadi berlaku demokrasi perwakilan.

Kombongan kalua sang lembangan, kombongan yang tertinggi dalam wilyah adat misalnya Sang Nanggalan. Dilakukan setiap tahun atau apabila ada hal yang penting atau khusus. Dihadiri oleh seluruh pemuka To Parenge bersama pemuka adat dan masyarakat. Mekanisme dalam persidangan sangat terbuka dan bebas dimana tiap peserta bebas mengeluarkan pendapat namun pengambil keputusan oleh tiap Karopi melalui musyawarah dan mufakat.

Musyawarah Kombongan Kalua dalam pengambilan keputusan berdasarkan keterwakilan oleh To Parenge karena asumsi bahwa sudah ada proses di tingkat Karopi sebelum terjun ke Kombongan Kalua. Seluruh keputusan dalam Kombongan Kalua dibacakan kembali oleh To Dia dan akhiri dengan upacara Potong Babi dan memakan nasi dari jenis padi berbulu yang berarti apabila ada yang mengingkari hasil Kombongan, maka tulang babi akan menyumbat lehernya dan bulu dari babi akan menusuk perut sehingga hasil kombongan tersebut ditingkatkan kekuatannya menjadi Besse atau sumpah.

Hasil Kombongan Kalua disosialisasikan kembali oleh To Parenge atau pemuka adat yang biasanya dilakukan pada saat upacara adat dan mengikat seluruh warga Lembang sang Nanggalaan.

Kombongan Karopi di tingkat Karopi dinamakan Kombongan saja. Dilaksanakan tiap tahun atau apabila ada hal yang khusus antar lain apabila terjadi pelanggaran adat atau hasil kombongan kalua. Kombongan dihadiri oleh seluruh warga dan dilaksanakan dengan demokratis. Dalam kombongan tersebut tanpa melihat tingkatan dan golongan bebas berbicara sehingga kadang-kadang terjadi perdebatan yang sengit. Di sini kecenderungan rakyat meminta pertanggungjawaban dari To Parenge atas pelaksanaan adat dalam wilayahnya sehingga biasanya kombongan menjadi ajang Pengadilan To Parenge, namun karena kedudukan To Parenge serta mekanisme pengangkatannya melalui usulan keluarga, maka sukar dijatuhkan namun To Parenge dapat dikenakan denda atau didosa. Yang dibahas adalah aturan adat yang berlaku, merubah, mencabut aturan-aturan baru yang semuanya berasal dari usulan masyarakat. Apabila ada yang tidak dapat diselesaikan atau menyangkut hubungan dengan Karopi lainnya, maka akan diajukan ke Kombongan Kalua. Kombongan tersebut sesuai fungsinya menunjuk beberapa pemuka sebagai Adat Pendamai atau Peradilan Adat.

Kombongan Soroan, kombongan yang menyangkit aturan lokal dalam wilayah kecil atau kelompok keluarga atau organisasi kemasyarakatan antara lain organisasi jemaat gereja, koperasi kelompok atau wilayah sebesar RT. Mengkaji dan membuat kesepakatan khususnya yang berkaitan dengan gotong-royong kelompok atau menyelesaikan kasus tanah hak milik bersama atas tanah atau hutan. Segala keputusan Kombongan diketahui oleh To Parenge dan yang tidak terselesaikan di bawa ke Kombongan Karopi.

XI. Ciri- Ciri Khusus
Suku Toraja adalah penduduk menetap. Interaksi dengan alam lingkungannya sangat menentukan pola hubungan sosial dalam kaitannya dengan adat dan budaya. Ciri tersebut mempengaruhi bentuk komunitas yang bernuansa kebersamaan dan demokratis.

Oleh proses sejarah yang panjang dan dituntut sampai sekarang, maka budaya hidup berkelompok dalam satu komunitas di atas wilayah yang tetap merupakan ciri khusus masyarakat suku Toraja.

Kombongan sebagai wadah musyawarah merupakan lembaga yang tertinggi. Segala sesuatu aturan yang menyangkut publik harus diputuskan melalui Kombongan. Pengambilankeputusan tanpa musyawarah atau otoriter baik oleh pemerintah ataupun oleh Pemangku Adat tidak pernah ditaati atau dilaksanakan oleh masyarakat. Istilah To Makada Misa (otoriter) tidak pernah diterima oleh masyarakat Toraja.

Faktor sejarah dan silsilah Lembang tempat asalnya merupakan kebanggaan masing-masing masyarakatnya.

Faktor hubungan keluarga yang legitimasi melalui sejarah dan silsilah merupakan tali pengikat yang dapat merupakan salah satu sarana penyelesaian konflik.

Strategi dan pintu masuk dalam rangka penguatan adalah melalui komunitas Lembang atau kelompok dan bukan individu. Pengungkapan sejarah serta nilai adat masing-masing Lembang merupakan alat komunikasi yang efektif dengan masyarakat.

Di Tana Toraja menurut Kruyt dan Andriani terdapat 32 Recht Gemeinschaft yang sekarang ini disebut Masyarakat Adat. Oleh pemerintahan kolonial Belanda ke-32 Rechtgerneinschaft dijadikan distrik yang dipimpin oleh seorang Kepala Distrik. Distrik membawahi Karopi yang dinamakan Kampung dipimpin oleh To Parenge Kanopi yang diubah namanya menajdi Kepala Kampung. Jadi ada kejelian dari pemerintahan Kolonial Belanda untuk menjadikan adat sebagai pintu masuk, sedangkan mekanisme Kombongan dan fungsi Tongkonan tetap dipertahankan.

Proses ini dimulai sejak tahun 1908-1979 dengan ditetapkannya UU/5/1979 dimana semua kelembagaan adat serta sistemnya diubah dan diganti dengan LKMD dan LMD. Dengan keluarnya UU/22/1999, maka berdasarkan Perda DPRD No.2/2001, maka desa tersebut dihapus dengan mengembalikan sistem pemerintahan Lembang sama sebelum UU/5/1979.

XII. Kesimpulan
Sebagai suku yang menetap maka faktor sejarah, budaya dan adat merupakan pengikat dan pemersatu dalam menghadapi dinamika sosial yang berkembang dan berubah-ubah.

Kombongan sebagai pilar demokrasi dan sekaligus sebagai wadah dalam mengantisipasi perubahan-perubahan dalam masyarakat sehingga memberikan nilai tersendiri sebagai adat yang dinamis dan perlu ditumbuhkembangkan dari ketersisihan sebagai akibat dari UU/5/1979.

Namun aktualita dampak perkembangan pembangunan dan dinamika perubahan sosial yang tidak disikapi secara konkrit, mengakibatkan terjadinya proses perubahan nilai pada generasi muda sehingga dapat menciptakan manusia tanpa identitas atau tercabut dari akarnya.

XII. Rekomendasi
Kurun waktu 32 tahun telah meluluhlantarkan adat dan budaya suku atau Komunitas Adat di seluruh Indonesia dan khususnya kelembagaan Kombongan yang dieleminasi melalui LKMD dan LMD.

UU/22/1999 sebagai salah satu peluang untuk mengembangkan kembali demokrasi dan pola hubungan sosial melalui pembentukan desa adat.

UU/22/1999 mendapat banyak kendala oleh karena sudah terjadi pergeseran nilai dikalangan masyarakat terutama antara generasi tua dan muda. Untuk itu diperlukan kerja keras melalui identifikasi dan revitalisasi hukum adat dalam tiap komunitas adat.

Memberdayakan Badan Perwakilan Desa (BPD) sebagi pintu masuk yang strategis agar menerapkan mekanisme sistem musyawarah Kombongan yang demokratis.

Mengakomodasi dan memberdayakan kelembagaan adat atau masyarakat yang masih diterima dan hidup dalam masyarakat.

Perlu rencana tindak lanjut dari hasil Pertemuan Forum IV

Tidak ada komentar:

Posting Komentar